Wednesday, September 09, 2020

Ringkih Ibu

Tubuh ringkih ibu terbaring di tempat tidur. Nafasnya berbunyi mengorok halus melalui mulutnya yang terbuka, membuat cekung pipinya terlihat lebih nyata. Ibu masih mengenakan kain jarik dan atasan kebaya, namun sekarang terlihat longgar dan membuatnya seperti tenggelam di kasur. Umurnya sudah 76, 80 mungkin, siapa yang tahu? Entah di mana akte lahirnya, dan kalaupun ada, entah datanya benar atau tidak. Karena Ibu selalu bilang kalau tanggal lahirnya di akte salah. Kalau ditanya kapan ulang tahunnya, Ibu selalu menjawab, 1 Januari, tepat tahun baru.

Aku masih memandanginya lama-lama, dia baru tertidur lima menit lalu dan biasanya dalam setengah jama akan terbangun lagi. Dengan kesakitan. Jari-jarinya yang kurus panjang menyembulkan pembuluh dan urat pekerja keras. Orang jaman dulu, mana punya pembantu? Kecuali keluarga priyayi tentu saja, dan Ibu bukan priyayi. Berapa banyak baju yang sudah dijahitnya? Berapa ember air sudah ditimbanya? Berapa kali ia memasak selama hidupnya. Hitunglah sederhana saja: 50 tahun x 360 hari x 2 = 36000 kali ibu memasak sarapan dan makan siang/malam selama hidupnya sejak menikah. Setahuku Ibu selalu hidup sendiri, mandiri. Karena Bapak sudah meninggal sewaktu aku berumur setahun. Tahun 1949, saat harusnya Indonesia merdeka, Bapak malah ditembak Belanda.

Yang menyedihkan, aku tidak ingat berapa kali tangan kurus itu sudah membelai aku. Atau menyuapiku, atau menggendongku di tengah malam. Mengapa kita tak pernah ingat saat-saat terpenting dalam hidup kita, saat kita berumur di bawah 3 tahun? Itulah saatnya kasih orang tua paling melimpah, dengan jumlah gendongan terbanyak, jutaan  belaian, peluk tak berkesudahan dan kecupan yang tak terhitung. Karena sungguh mati aku ingin mengingat saat-saat itu, saat yang pastinya paling manis dalam hidupku. Karena setelah umur 3 tahun aku dititipkan di rumah Bude dan ingatan masa kecilku bersama ibu seperti tulisan di papan tulis yang terhapus. Tak ada kenangan tersisa, padahal aku sangat butuh ingatan itu. Karena setelah tiga tahun, aku terus bertanya-tanya, mengapa aku ditinggalkan Ibu merantau ke Jakarta. Rasa sayang itu berangsur lenyap, karena setelah usia tiga aku tak mengenalnya.

Tubuh Ibu bergerak, tampak seperti ingin menghadap sisi kanan, tapi tubuhnya tak mampu membawa bebannya sendiri. Aku tak kuasa membantunya, karena tulangnya tak mungkin kuat menahan tubuhnya kalau berbaring miring. Pasti punggungnya panas harus tidur terlentang terus-menerus. Wajahnya mengernyit kesakitan, tapi matanya tetap tertutup. Tiba-tiba ia meletakkan kedua tangannya di atas perut dan mengaitkan keduanya seperti berdoa. Mulutnya komat-kamit. Lalu ia tertidur kembali. Seperti meminta kekuatan dari sesuatu yang tak terlihat, mungkin dalam mimpinya ada malaikat.

Sudah setahun ini kondisi Ibu tidak membaik. Tidak juga memburuk. Walau sudah cukup buruk karena ia sudah tak mampu melakukan segalanya sendiri. Aku hanya berdua dengannya di rumah ini. Yang terasa semakin luas dan sepi tanpa percakapan. Hanya aku yang mengajaknya bercakap, dan ia hanya memandangku. Kadang dengan tatapan terimakasih, seringkali dengan tatapan kesakitan, mungkin saat aku dengan tak sabaran mengangkatnya ke kursi roda atau mengganti pembalut dewasanya yang penuh kotoran dengan gerakan kasar. Paling sering ia menatap dengan pandangan kosong, yang bisa kuartikan apa saja. Kapan sakitku sembuh? Kenapa aku masih di sini? Kenapa tak kautinggalkan aku sendiri?

Orang-orang yang kutemui selalu bilang aku butuh istirahat. Perlu berlibur sejenak, sewa suster saja. Punya kakak atau saudara? Kakakku sudah terlalu tua untuk mengurus orang tua. Saudara-saudaraku entah kemana saat aku perlukan. Anak-anakmu? Kedua anakku terlalu sibuk. Dan mereka juga sudah punya anak kecil-kecil. Salah satunya tinggal di luar kota. Aku bukan Ibu yang rajin mengurus cucu, jadi aku pun tak berharap mereka membantuku mengurus neneknya, ibuku. Tapi sesungguhnya, aku tidak perlu istirahat berlebih. Atau bahkan liburan. Aku hanya butuh ingatan. Akan masa-masa kecil saat aku masih bermanja dalam gendongan. Masih dipeluk sambil berputar-putar. Saat Ibu mencintaiku penuh-penuh dan tanpa syarat.  Supaya saat ini aku bisa membalasnya, penuh-penuh dan tanpa syarat pula.

Setelah selesai SMP baru aku menyusul Ibu ke Jakarta.  Itupun setelah kupaksa-paksa karena aku sudah tidak betah tinggal bersama Bude. Aku bertumbuh cantik kata orang, tetapi kecantikan selalu membawa petaka. Sepupuku Bagas yang terkadang datang mengajakku bermain, semakin lama permainannya membuatku tak nyaman. Bahkan Paklik yang semula sering membawakan permen sekarang minta disuguhi kopi dan ditemani saat datang berkunjung ke rumah Bude. Mengapa aku? Lebih baik aku membantu di dapur saja daripada duduk di sebelahnya untuk dipandangi dan dielus-elus rambutku seperti waktu aku masih SD. Aku limbung, tanpa pelindung. Lagi-lagi aku menyalahkan Ibu. Mengapa sangat penting baginya untuk ke Jakarta dan mengapa aku sangat tidak penting baginya? Bude selalu bilang, ibu bekerja untukku dan kakakku, karena sudah tak ada bapak yang menafkahi. Saat itu aku cuma bilang, aku sudah tak punya bapak, tapi juga seperti tak punya ibu.

Aku bangkit dari dudukku di samping pembaringan ibu. Sendi lututku nyeri. Untuk usiaku yang lima puluh tujuh, sebenarnya kondisiku tidaklah buruk. Masih cukup sehat dan bisa hidup dari pensiun. Tadinya aku punya segudang rencana setelah pensiun. Berjalan-jalan, senam bersama ibu-ibu komplek, ke luar kota mengunjungi saudara. Ternyata sudah hampir dua tahun aku jarang keluar rumah, mengurus ibu. Rencana pensiunku berantakan. Ibu yang hanya kukunjungi sesekali karena kesibukanku dulu, sekarang harus kutunggui hampir 24 jam sehari. Dulu masih mending, Ibu bisa kuajak keliling komplek dengan kursi roda. Tetapi setahun belakangan ia sudah tak kuat lagi menahan guncangan dan perlakuanku yang makin tak sabaran.

Ruang tidur ini tiba-tiba terasa terlalu suram. Dan baunya, ya baunya. Bau orang tua. Bahkan aroma sabun sudah terkalahkan. Bau tanah kata orang. Tapi rasanya kurang tepat. Lebih mirip bau debu. Mendadak aku bergidik. Dari debu kembali menjadi debu kata Alkitab.

Kupandangi foto ibu sewaktu masih muda, saat aku SMEA di Jakarta. Ia masih berkebaya dengan sanggul Jawa. Di Jakarta pun kami tidak tinggal bersama. Karena aku tinggal bersama Mbak Titi yang sudah berkeluarga, dan lebih dekat ke sekolah. Sementara Ibu tinggal di kontrakan lain di tengah kota. Di daerah Menteng kata mbak Titi, tempat orang kaya tinggal dan memesan jahitan baju ke Ibu yang sudah terkenal handal. Aku hanya seminggu sekali mengunjunginya, atau ibu mengunjungi kami. Rumah kontrakannya kecil, terasa penuh dengan kasur dan mesin jahit. Tapi Ibu orang yang apik. Jahitannya bertumpuk tapi rumahnya tak terlihat berantakan. Saat yang kupikir kutunggu-tunggu karena akan lebih sering bertemu dengan ibu yang kurindukan ternyata berjalan datar. Ia tidak seramah bayanganku, pun tak sering memanjakanku. Saat itu aku sadar, aku merindukan yang tak ada. Ia hanya sosok di masa lalu, dan buat orang yang merindu sosok itu jadi seperti dongeng. Mimpi indah yang tak nyata.

Anak-anak adalah penilai orang tua yang paling kritis. Nilai dan moral kehidupan dianutnya dari orang tua. Orang tualah mercu suar anak dalam mengarungi laut dunia. Saat aku tersadar akan kenyataan, aku memberontak. Mengapa di semua cerita sosok ibu adalah yang paling menyayangi, memanjakan, mengasuh anaknya tanpa syarat? Siapakah ibu yang melahirkan aku ini? Hatinya keras dan sosoknya terlalu tangguh buatku. Kisah dan nilai yang tadinya kuanut tentang seorang ibu musnah. Ia bukan ibu buatku, ia hanya seorang perempuan lain yang mampir dalam hidupku. Lagi-lagi aku limbung. Pernah sekali kuajaknya berakhir pekan dengan berjalan-jalan, tapi Ibu menolak halus. Aku harus menemui orang yang memesan jahitan, Dwi. Sekarang Ibu terima pesanan di hari sabtu minggu, menambah tabungan untuk biaya nikahmu. Dalam hatiku menjawab, mungkin aku tak usah menikah saja Ibu, kalau itu membuatmu menolak anakmu yang sudah terlalu lama kautinggalkan ini. Rindu itu tiba-tiba hilang, dan aku merasa benci padanya.

Ternyata aku toh menikah. Tanpa mengerti bagaimana menjadi istri dan memperlakukan suami. Tanpa bayangan bagaimana suami memperlakukan istrinya. Aku hanya seperti air sungai yang mengalir. Terkadang airnya tenang, kadang berbelok, kadang menggerus batu, kadang terjun dari ketinggian. Dan saat aku punya anak, aku juga tak pandai bersikap menjadi seorang ibu. Dengan punya anak dan segala kerumitan yang dibawanya, aku lebih senang menghabisakn waktu bekerja. Enaknya saat aku punya anak, kami bisa punya pembantu. Jadilah kedua anakku diurus pembantu, dan ayahnya yang ternyata lebih telaten mengurus anak ketimbang diriku. Satu saat kusadari, aku makin menyerupai Ibu. Yang sosoknya pernah kubenci. Tapi sudah terlambat. Saat itu mungkin anak-anakku pun sudah membenci aku.

Aku menuju pembaringan di ujung kamar. Entah kapan aku dan ibu mulai tidur sekamar. Rasanya sudah lama sekali. Malam-malam yang sepi hanya ditemani suara cicak. Terbangun serentak mendengar suara rintihan. Mengambilkan minuman. Mengganti popok. Menggantikan baju yang basah. Mengelapkan keringat. Malam yang terasa lebih panjang daripada hari. Gelap yang terasa lebih lama daripada cahaya. Aku selalu kelelahan saat berbaring. Tetapi selalu siaga saat terbangun menjalani ritual yang sama. Dari mana energi itu berasal? Benar kata orang, semakin tua orang semakin seperti bayi. Mudah-mudahan kali ini aku lebih sabar kali ini. Karena dulupun aku tidak pandai mengurus bayi. Mulutku berkomat-kamit mendesah doa. Tuhan, belum cukupkah kami menebus dosa-dosa dunia, kapan kau sudahi penderitaan ibuku dan aku? 

 

written a longtime ago, dedicated to Ibu dan alm. Mbah Putri

Monday, August 06, 2018

First 42,195K [Full Marathon Pertama]

Baca cerita-cerita pelarian, saya jadi pengen berbagi juga.

Pertama kali race 5K sekitar 5 tahun lalu, di acaranya Capital Run Jakarta di SCBD. Rasanya seneng bisa lari rame-rame. Daftar race kedua ambil 10K. Karena merasa rugi kalo cuma beda 50rb, mending ambil jarak lebih jauh, hahahah #emakirit. Habis itu lanjut Pocari (jaman masih di BSD), dan di Jakmar langsung daftar HM. Habis itu no turning back. Sampe akhirnya tahun lalu sudah daftar FM di Jakmar, tapi BIB saya lepas. Karena kurang latihan. Kenapa kurang latihan? Baru pindah kerja, jadwal belum teratur. Anak baru masuk SD, ngga tega ninggalin lama-lama. Takut sakit. saya pernah baca, setelah lari endurance semacam FM, ginjal kita bekerja berat. Sementara saya dulu kala pernah gagal ginjal akut. Tapi saya senang FM itu saya batalkan, karena ternyata MENTAL saya belum siap.

Tahun ini mungkin irama hidup saya lebih teratur. Dan kebetulan ada teman2 yang menyemangati. Dan yang lebih penting ada teman untuk latihan longrun, dengan pace yang bisa saya ikuti. Karena menurut saya ini yang paling penting untuk persiapan FM. Jadi buat emakrempong kayak saya, yang saya cari adalah jadwal latihan FM for beginners, kalau bisa 3 kali seminggu saja. Saya print jadwal 16 minggu, dan tandai tanggal-tanggalnya sampai nanti hari-H. Yang paling penting adalah jadwal hari Minggu saat longrun, target kilometer harus bisa dipenuhi. Saya overlay juga dengan jadwal keluarga terutama anak-anak, supaya terlihat kalau mesti skip/pindah hari latihan. Plus I have to consider that I have no live-in maid (just part-time), driving kids to school, working fulltime, and still cook for the family. Lalu dimulailah latihan ala saya.
  • Seminggu minimal 3x termasuk longrun, jarang sekali sampai 4x.
  • Diusahakan interval minimal 1x seminggu.
  • Crosstraining? Mmmm...mostly susah cari waktunya hahaha
  • Longrun bertahap saya mulai 10K, ditambah setiap minggunya (12, 15, 18, 21, 25).
  • Longrun bersama teman2 jauh lebih menyenangkan, saya janjian lari bareng di 21, 30, dan route-test 35K.
  • Setiap longrun ngga cari pace, yang penting terpenuhi dan bisa merasakan vibe jaraknya.
  • Kalau lari pas menstruasi bisa dibantu multivitamin, but no painkiller
  • Always enjoy and have fun... hear your body, stop when it tells you.

Jadi buat teman emak2 yang masih ragu... I think you can do it :)


Ps. Please note this minimum training will result a minimum target; as expected I finished under COT with a big smile, no injury, and ready to roll the day after. Not Bad for a 44 year old!

Friday, April 21, 2017

The Movement

This was written right after first round election for Jakarta Governor.

Do you realize if there's no second round election, Ahok had already won?
He is not all about politics. 
He IS a Movement. Like no one has ever done before in this beloved country. 

I almost lost myself in one-dimensional face of Indonesia, fear of loosing my root and Indonesian culture in the future. But Ahok gives hope. That there's still a place for diversity and minority.

Terimakasih Ahok untuk sumbangsihnya buat Jakarta dan NKRI. Kamulah pemenang sebenarnya di mata saya.

Dari saya, yang ngga ada sumbangsihnya buat negara.

Monday, July 25, 2016

B I B



Hari ini tanggal 22 Mei. Sepuluh tahun lalu tepat di tanggal dan hari Minggu yang sama Bapak meninggalkan bumi.
Hari ini pula saya ikut lomba lari, run race dari pocar! sweat, kategori half marathon alias 21,195 kilometer. Ini HM kedua buat saya.
Saat mendaftar untuk nama di nomor dada, saya menulis DY LOVE DAD. Kenangan tentang Bapak tak pernah lekang, selalu dirindukan.

Saya bayangkan, kalau masih ada Bapak pasti ia tak segan menemani saya lari di race ini, paling tidak sambil berjalan.
Karena ia suka mencoba hal baru, dan tak segan berada di keramaian, selain memang senang berolah badan. Walau tetap sambil mengepulkan asap hahaha.

Ah Bapak, Jakarta sudah jauuuuhhhh berbeda saat saya masih kecil dan sering keliling kota Jakarta bersama Bapak.
Lari saya kali ini untuk Bapak.

Thursday, September 10, 2015

I Love You Pisan, Pak Suroto!

"I love you pisan, Ma...." ucap Damian sambil memelukku. Kala itu ia masih berusia 7 tahun, kelas satu SD semester dua. Semester satu ia masih menuntut ilmu dasar di sekolah negeri di Maryland, USA. Kemudian kami memutuskan pindah dari Amerika ke Bandung setelah 6 tahun berdomisili di sana. Otomatis Damian mempunyai kendala bahasa ketika mulai sekolah baru. Sesampainya di Bandung saya sengaja tidak memasukkannya ke sekolah International School yang sedang trend saat itu. Tapi resikonya, ia harus mengikuti pelajaran Basa Sunda, di samping mempelajari Bahasa Indonesia yang masih sangat tertinggal.

Jangan salah, selama di Amerika kami menggunakan Bahasa Indonesia di rumah, tetapi rupanya Damian lebih lancar berkata-kata dalam Bahasa Inggris. Perbendaharaan Bahasa Indonesia-nya hanya sebatas pemahaman. Jadilah selama beberapa minggu di awal sekolah baru saya mengajarinya Bahasa Indonesia terlebih dulu. Menurut saya, yang penting ia naik kelas dan memahami pelajaran yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia. Mengenai Basa Sunda, ulangan pertamanya mendapat nilai nol tentu saja. Bahasa gaul? Tampaknya lebih cepat terserap lewat permainan dengan teman, maka terlontarlah kata-kata itu," I love you pisan, Ma..." Bahasa campur aduk yang bahkan tanpa ada kata-kata dalam Bahasa Indonesia. Oops..

Dipercepat tiga tahun kemudian, yaitu saat ini, saya sudah tidak kuatir dengan kendala berbahasa Damian. Banyak anak lain yang dibesarkan dengan dua bahasa dan mereka memiliki keuntungan lebih sebenarnya, selama mereka tidak dipaksa. Damian sudah menikmati buku-buku berbahasa Indonesia termasuk buku cerita rakyat hadiah waktu kecil yang selama ini teronggok. Saya sendiri suka membaca dan menikmati cerita-cerita rakyat hingga karya sastra favorit saya dari pengarang Achmad Tohari hingga Pramoedya Ananta Toer alm. Maka buku-buku mereka saya koleksi dan mudah-mudahan dinikmati Damian jika ia sudah tertarik kelak.

Saya harus berterimakasih pada Pak Suroto, guru Bahasa Indonesia saya di SMA dulu karena menggugah kesukaan saya akan menulis dan membaca karya sastrawan Indonesia lama.

Saya masih ingat semangatnya kala membahas buku trilogi Achmad Tohari, atau memberi tugas menulis resensi buku. Ia juga membuat kami menulis biografi tentang dirinya, dengan cara seolah-olah ia tokoh yang diwawancara di depan kelas. Maka kami seolah-olah adalah wartawan yang mewawancarai selebritis dan kemudian menuliskan kisah hidupnya. Saat itu, saya menyadari betapa tiap orang istimewa tanpa kecuali, karena memiliki cerita hidupnya sendiri-sendiri.

Pak Suroto juga yang memberi tugas membuat kliping Cerpen Kompas selama 10 minggu berturut-turut. Kami harus membaca cerpen yang muncul tiap hari minggu, kemudian menggunting dan menempel cerpen itu di kertas HVS, kemudian mengetik resensi tentang cerpen tersebut. Resensinya harus lengkap, dari tokoh-tokohnya, sifat-sifatnya, jalan cerita, tema cerpen tersebut, hingga hikmah yang bisa diambil. Untuk menulis resensi kami masih memakai mesin tik kala itu, di awal sembilan puluhan. Komputer sudah ada, tapi masih menjadi barang mewah. Kemudian setelah sepuluh cerpen dalam sepuluh minggu dengan sepuluh resensi terkumpul, kliping itu dijilid dengan sampul karton biru yang menerakan judul kliping. Yang unik, judul kliping resensi diambil dari judul cerpen pertama dan cerpen terakhir. Karena tiap anak menyusun sepuluh cerpen dengan susunan yang berbeda, maka judul-judul aneh pun muncul. Amarah Ayam Bekisar. Anjing Malam Kelana dari Padang. Semacam itulah. Maka puas sekali rasanya saat mengumpulkan tugas tersebut, seperti sudah membuat buku sendiri. Paling tidak buku resensi.

Belum lama ini saya berbicang dengan rekan sekantor yang hobi menulis. Usianya di sekitar pertengahan duapuluhan, berbeda sekitar satu dekade dengan saya. Bincang punya bincang, saya menanyakan apakah ia menyukai penulis Pramoedya Ananta Toer alm. Ternyata ia belum pernah mendengar nama itu.... Krik...krik...krik... Sungguh tercengang saya. Lho, apa saja materi dan kurikulum Bahasa Indonesia di sekolah umum sekarang?

Tiba-tiba saya kangen Pak Suroto.


written in September 2012